Catatan: artikel ini saya tulis sebelum saya menikah, dan artikel ini dulunya bagian dari CV taaruf saya juga, dalam rangka ngejelasin ke si calon saya pengennya istri saya nanti kayak apa. btw alhamdulillah 15 November 2018 lalu saya udah menikah. jalan cerita saya nemu jodoh mungkin agak beda, dan kayak di film-film kalau kata orang, silakan dibaca How We Met kalau penasaran dan mau nyoba trik-nya. :p
………………………..
Kalau boleh memilih, saya akan lebih suka jika istri saya nanti full menjadi ibu rumah tangga.
- Ngurusin saya sebagai suami, anak-anak, rumah, dan seputarnya secara maksimal.
- Saya ingin istri saya sehari-hari bisa temenin saya kerja (di rumah, atau di luar rumah). Jika harus ada asisten (yang ngatur jadwal, keuangan, diskusi, dll) dalam urusan kerjaan, pengennya juga istri yang handle.
- Kalau saya harus pergi ke luar kota atau harus hadir acara apa gitu, pengennya istri juga ikut. Kalau saya hadir majelis ilmu atau majelis zikir (yang jamaahnya laki-laki juga perempuan), pengennya istri juga ikut.
- Saya ingin anak-anak saya tumbuh dari kecil bersama saya dan ibu mereka. Saya ingin istri saya bisa membersamai anak-anak dari pagi ke pagi. Ngurusin, temenin, ngajarin, bacain Alquran, bacaan shalawat, dll ke anak-anak. nggak pas aja rasanya anak dititip ke orang (Ibu, Mertua, pembantu, jasa titip anak, dll) lalu si istri keluar karena ada keperluan (kerja atau yang lain)
- Dan, semua hal ini rasanya baru akan terlaksana jika istri tidak terikat pekerjaan dengan lembaga / instansi tertentu.
Tapi jika nanti si istri memang ingin bekerja, in syaa Allah bisa dibicarakan kemudian. Kita akan cari pekerjaan apa dan seperti apa yang kira-kira cocok. 🙂
Secara umum ada 2 kelompok dalam hal ini. Ada yang bebas saja istri mau bekerja atau tidak. Ada juga yang cenderung istri tidak bekerja. Kedua kelompok ini tentu punya pertimbangan masing-masing.
Untuk lebih jelas, bisa baca lebih lanjut di bawah.
…..
Saya bisa sampe pada tahap memutuskan ingin punya istri yang tidak bekerja, tidak semata-mata karena keinginan (nafsu) saya, bukan asal-asalan, bukan buat gaya-gaya an.
Namun, saya pelajari dari kisah orang-orang. Saya denger nasihat para guru. Saya cari tau pandangan para Ustadz / Buya / Habaib / dst terkait dengan hal ini.
Poin saya adalah, keputusan ini bukan atas dasar nafsu pribadi saya, bukan “saya pengen aja gitu, istri gak kerja”. Landasan saya didominasi variabel agama. Saya akan cantumkan beberapa pandangan Ulama terkait hal ini.
1. Istri yang bekerja, rezekinya adalah rezeki si istri, bukan keluarga. beda dengan suami yang bekerja, rezekinya adalah rezeki keluarga. istri yang bekerja (nyari duit) padahal di suami masih bisa, maka akan selalu banyak masalah dan akan selalu kurang, karena tidak ada keberkahan di dalamnya. Beda ceritanya jika yang nyari nafkah si suami, si istri memang hobi-nya dagang, nah itu ceritanya beda. Penjelasan lengkap bisa dengar penjelasan dari Ustadz Adi Hidayat di bawah ini. Fokus di menit ke-6 hingga selesai.
2. Kata Buya Yahya: a. wanita kalau mau berkarir / bekerja boleh saja, tapi coba pelajari model bekerjanya Sayyidatuna Khadijah. b. kalau memang suami gak mampu, oke lah, tapi kalu suaminya mampu, ngapain coba?. c. wanita kalau udah punya duit biasanya suka ngelawan, ini udah semacam sifat “dari sananya”, coba aja cek, kasus perceraian biasanya si istri lebih berduit. Lebih jelasnya bisa nonton penjelasan Buya di bawah.
3. saya banyak sekali mendengar kasus perselingkuhan di dunia kerja. ketika saya sebut banyak, maksud saya, buaaanyak! banget!. awalnya mungkin gak niat, tapi krn lama-lama, sering ketemu orang itu-itu aja, jadi juga. “ah itu kan kalau yang bersangkutan gak kuat iman”. Hm, bahkan yang sudah hafidhah sekalipun bisa selingkuh. Bahkan yang kelihatannya jilbab lebar-lebar itu bisa selingkuh. Dulu, guru saya megang akun fb konsultan pernikahan. Beliau punya akses utk baca-baca keluhan orang-orang yang curhat. Jadi, yang saya bilang di sini, bahwa ibu-ibu shalihah itu ternyata selingkuh juga, bukan karangan saya, itu terjadi! banyak!
Wallahua’lam cerita ini bener apa nggak, tapi yang kayak begini ada banyak terjadi. Ini salah satu dari berbagai kejadin yang bisa terjadi. Baca, klik link ini.
4. Ada banyak sekali nasehat dari guru-guru saya terkait hal ini, bahwa lebih baik istri tidak bekerja, tidak menjadi nafkah. Saya akan kutip beberapa percakapan saya dengan guru-guru saya.
SS di bawah dari guru saya, mas Ibrahim Vatih.
Selanjutnya di bawah ini adalah jawaban dari para guru saya yang lain, saya nanya dengan pertanyaan yang sama.
*****
Assalamu’alaikum warahmatullah.
Tgk / Guru yang saya muliakan.
Saya punya beberapa pertanyaan terkait istri bekerja / istri mencari nafkah / wanita karir.
Pertanyaan ini saya ajukan ke beberapa Guru saya.
Bukan untuk membanding2kan.
Justru saya sedang mengumpulkan berbagai macam pandangan dari para guru terkait hal ini, utk kemudian bisa saya ambil kesimpulan.
Hal ini saya lakukan krn saya sedang nyari2 calon juga, dan atas ilmu dan pertimbangan yang Alfaqir punya, saya lebih prefer / lebih cocok jika istri tidak bekerja / tidak menjadi nafkah / bukan wanita karir. Jika memang harus kerja, maka pekerjaan yang bisa remote / dilakukan di rumah.
Masukan / nasehat dari para guru nanti akan saya jadikan acuan utk kemudian saya ambil kesimpulan, apakah “ingin istri tidak bekerja / tidak mencari nafkah” tetap saya jadikan sbg syarat atau tidak.
Mohon Gurunda bersedia menjawab secara objektif berdasarkan Ilmu (Alquran, Hadits, pendapat para ulama, dst), pengalaman, analisa, preferensi pribadi, dst.
…
1. Apa saja kelebihan & kekurangan jika istri bekerja / mencari nafkah? (berdasarkan ilmu, pengalaman, cerita-cerita, dll)
2. Secara pribadi (berdasarkan ilmu, pengalaman, cerita-cerita, dll), Tgk lebih memilih istri yg bekerja atau yg tidak bekerja?
3. Apakah menurut Tgk saya lebih baik tetap pada pendirian saya utk mencari istri yang bersedia tidak bekerja? Alias menjadi ibu rumah tangga yg mengurusi suami dan anak2 juga rumah. Jikapun harus bekerja, maka pekerjaannya bisa dilakukan di rumah. Atau, saya mesti ubah?
…
Sekian saja Tgk.
Terimakasih banyak atas jawaban Tgk.
?
*****
Berikut beberapa jawaban dari para guru.
1. Jawaban dari Tgk. Salamudin Abubakar Yusuf, sekitar 12 tahun di Dayah MUDI
2. Jawaban dari salah satu guru saya juga, sekitar 7 tahun di MUDI
3. Jawaban dari Tgk. H. Iqbal Jalil
4. Jawaban dari Tgk. Akhyar Kb. Tanjung, Alumni MUDI, ketua RTA Pidie
5. Jawaban dari Tgk. Zulfitri, sekitar 11 tahun di MUDI
Jawaban yang serupa juga saya dapat dari Abi Zahrul, anak dari Abu MUDI saat pengajian TASTAFI di desa kami beberapa waktu yang lalu.
*****
Kesimpulannya, saya lebih cenderung ingin istri yang tidak mencari nafkah, tidak bekerja. Kalaupun harus bekerja, ya dari rumah.
Sekali lagi, ini bukan atas dasar nafsu saya sendiri, ini berdasarkan ilmu, pengalaman, dan nasihat para guru dan ‘Alim ‘Ulama.
Jadi, sama sekali gak boleh bekerja?
Penjabaran lebih lanjut mungkin begini:
- boleh bekerja, ketika saya sebagai suami memang dalam kondisi kekurangan uang. artinya uang dari saya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga. Bisa karena bisnis sedang di titik bawah, saya sakit parah (na’udzubillah), atau ada hal lain. Selama saya masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga, maka untuk apa istri bekerja?
- Namun, ada beberapa catatan yang harus diingat ketika dan selama bekerja:
- boleh bekerja, asal si istri tetap konsisten dengan ibadah harian / mingguan / bulanan / dst-nya dia.
- silakan bekerja di luar, selama bisa memastikan tidak ada khalwat, tidak campur baur dengan laki-laki
- bisa menjamin tidak tertarik sama laki-laki lain dan tidak pernah selingkuh (super duper penting).
- Bisa menjaga interaksi dengan yang bukan muhrim. Misal: tidak bicara yang tidak perlu, tidak saling chat, tidak makan bareng, dll gak perlu disebutin satu-satu yak. :p
- silakan bekerja di luar selama suami dan anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Jenis pekerjaan tertentu mengharuskan dia utk menjadi objek pekerjaanya prioritas utama, nah ini gak bisa. Suami, anak, tetap jadi prioritas utama.
- silakan bekerja di luar selama target-target yang kita tetapkan di awal utk: a. anak-anak, b. istri, c. suami, d. suami-istri, e. rumah, f. dll bisa tercapai. (misal, targetnya bisa menemani anak-anak paling tidak 1 jam sehari, nah itu harus tercapai)
- silakan bekerja selama bisa memastikan tetap bisa bersikap layaknya istri yang tidak punya kekuasaan apa-apa. artinya tidak kemudian merasa punya kekuasaan sehingga lancang, keras suara, suka membantah, minta cerai, dst
- tetap patuh sama suami.
*****
Sebagai tambahan, saya akan cantumkan status fb dari Ibu Wina Risman.
Kalau ingin lihat langsung, klik di sini.
Gimana kalau Kerja Remote?
Hampir dalam semua hal di dunia ini ada pengecualian, termasuk dalam urusan ini.
Singkatnya, kerja remote adalah model bekerja yang tidak terikat waktu dan tempat.
Orang yang bekerja remote bisa kerja dari rumah, warung kopi, di jalan, dan seterusnya. Selama target pekerjaan selesai dan tidak lewat deadline.
Nah, saya in syaa Allah tidak masalah jika istri saya nanti kerja remote, selama beberapa catatan yang saya sampaikan di atas bisa dipenuhi oleh si istri. (baca baik-baik ya, :P)
Profesi apa saja misalnya?
Misal penulis artikel. Ya, tentu dia bisa menulis dari rumah, hasilnya tinggal email, tidak harus ke kantor.
Atau designer misalnya. Pesanan desain-desain bisa dia kerjakan juga dari rumah, tanpa harus ke kantor.
Dalam ranah kesehatan, misal dokter gigi, si istri bisa buka praktik di rumah. (khusus dokter gigi ya, kalau dokter segala penyakit, buka praktik di rumah justru waktu utk ngurusin pasien jauh lebih banyak, tapi kalau dokter gigi rasanya gak begitu ya, hehe)
Atau bisa juga kalau istri dokter, nanti bisa saya buatkan website yang fokusnya di kesehatan (atau topik khusus yang dia kuasai). Monetize-nya bisa dipikirkan kemudian enaknya dengan apa.
Atau kalau si istri punya skill / bakat bikin produk-produk unik atau hobi masak / bikin kue, nanti bisa kita belajar asah lebih dalam bakatnya, kemudian kita pikirkan produksinya untuk kemudian kita coba pasarkan via IG, FB, SEO, atau yang lain.
Dan pekerjaan / profesi lainnya yang kira-kira bisa remote.
Tapi ingat, jika suami masih bisa mencukupi keuangan keluarga, tetap sebaiknya tidak menyibukkan diri dengan urusan keuangan. Jika memang tetap ingin bekerja, biat niatkan untuk ibadah, sharing ilmu, biar ada variasi kegiatan, hobi, dst. Bukan niatan untuk mencari uang / nafkah.
🙂